Ga selalu pantang menyerah adalah atribut yang perlu kita pertahankan
Hi buddy
Pernah nggak sih lo mendengar pepatah yang mengatakan bahwa winners never quit?
Orang itu kalau mau berhasil nggak boleh menyerah
For a verry long time gue percaya akan hal ini
Beberapa waktu yang lalu gue baca quit by Annie Duke
Setelah baca buku ini gue jadi mempertanyakan
Apa memang benar Winner never quit?
Jadi di episode kali ini gue akan bahas lesson yang gue pelajari dari buku itu yang membantu gue
Gue ga jadi orang yang gampang menyerah tapi menjadi lebih intensional untuk memutuskan
Kapan waktu yang tepat untuk menyerah dan melanjutkan perjalanan
Let’s get started
Kenapa Quitting Bisa Menjadi Strategi yang Oke
Stewart Butterfield mendirikan sebuah gaming company bernama Tiny Speck
Awalnya company ini sangat menjanjikan karena berhasil mendapatkan ratusan ribu pengguna
Setelah dilihat hanya 5% yang membayar biaya langganan
Tentunya ini bukan fondasi yang kuat dalam membuat bisnis yang sustainable
Di situasi ini, Stewart dan tim ngerun marketing campaign intensif
Campaign ini berhasil meningkatkan jumlah pengguna dan pemasukan secara signifikan
Investor juga excited karena ini dianggap sebagai sebuah momentum
Siapa sangka, Stwart memutuskan untuk berhenti dan balikin duit investor
Baik karyawan maupun investor kaget dengan keputusan ini
Stewart melihat dengan kacamata yang berbeda
Dia menyadari kalau mau grow companynya dengan konsisten, dia perlu secara konsisten bakar uang
Situasi ini terlihat sebagai sebuah pertarungan yang akan sangat melelahkan dengan potensi kekalahan yang besar
Setelah quit dari gaming company ini, Stewart membuat sebuah startup baru
Startup tersebut adalah Slack, chat yang biasa dipake internal perusahaan
Di tahun 2020, Slack diakuisisi oleh Salesforce senilai 27.7 milyar dollar
Yep ternyata story ini punya happy ending
Gue ga bilang semua quitting story akan punya happy ending seperti ini
Belum tentu ketika quit kita akan mendapatkan hasil yang lebih baik
Dengan share study ini gue berharap lo jadi bisa mempertimbangkan quitting sebagai startegi yang oke
Jebakan Untuk Quitting
Biarpun quitting ternyata can be a good strategy sayangnya tidak semudah itu untuk kita quit
Ada 3 jebakan yang sering terjadi yang membuat kita bertahan padahal sebaiknya kita udah harus cabut
Endowment effect
Fenomena dimana kita terlalu terikat dengan sesuatu yang kita miliki.
Misalnya lo diminta untuk memimpin sebuah project
Semua orang di kantor lo tau kalau project ini adalah “baby” lo
Ketika projectnya perlu untuk di stop, lo akan lebih susah buat berhenti
Karena ada rasa memiliki terhadap project tersebut
Ga cuma ke project, kita juga bisa punya endowment effect sama identitas kita
Misalnya selama ini kita merasa bahwa kita jadi orang yang disenangi karena cenderung memendam kritik
Ketika orang-orang terdekat kita menyadarkan kita perlu untuk lebih asertif, kita mungkin punya resistensi
Karena buat kita menjadi orang yang disenangi artinya memilih diam
Sunk Cost Fallacy
Perasaan sayang untuk berhenti karena kita sudah mengalokasikan banyak sumber daya ke dalam suatu project
Kita merasa sayang untuk berhenti dan gamau usaha kita ini sia sia
Dalam situasi ini, kadang bukannya berhenti, kita malah berusaha dengan lebih keras
Ini dinamakan escalation of commitment
Gue pernah melihat fenomena ini terjadi di seorang teman
Dia memiliki kemampuan operasional tapi rolenya menuntut untuk punya kemampuan teknis
2 tahun terakhir dia sudah mecoba berbagai cara tapi masih belum memenuhi ekspektasi
Padahal sebenernya 2 tahun waktu yang udah cukup lama untuk mengevaluasi apakah ini worth it
Apakah kalau kita quit lebih awal maka lebih baik?
Ternyata belum tentu
Itulah jebakan quitting yang ketiga
Too early to quit
Gue adalah orang yang menganut prinsip kalau bisa kita quit ketika lagi di atas
Sebaiknya kita quit karena pilihan kita bukan karena tuntutan keadaan
Ternyata ini juga belum tentu baik karena kita jadi rentan mendapatkan manfaat maksimal dari sebuah kesempatan
Beberapa kali gue beli saham dan merugi
Ketika sahamnya balik modal, gue seringkali buru buru jual karena gue ga siap kalau turun lagi
Di banyak kejadian, harganya malah naik terus dan keuntungan gue ga maksimal
Jadi timing untuk quit itu ga bisa terlalu lama dan ga bisa terlalu cepat juga
Tips Mindful Quitting
Buat lo yang baca sampe sini, hopefully lo mulai mempertimbangkan quitting sebagai strategy
Lo juga sadar kalau untuk quit tidak semudah itu
Ada alasan psikologis yang mungkin menghambat kita
At the same time, coba 3 tips ini untuk bisa menjadi quitter yang lebih baik
Berhenti sebelum memulai
Untuk jelasin ini gue akan pake analogi
Bayangin lo mau memulai sebuah usaha topeng monyet
Monyet tersebut perlu bisa menari di atas panggung
Jadi yang perlu lo lakukan adalah membangun panggung dan melatih monyetnya
Dari dua hal ini, yang lebih mudah adalah membangun panggungnya
Jadi kita fokus dengan hal yang mudah terlebih dahulu
Ketika kita ditanya gimana kita mau melatih monyetnya, kita berdalih kalau kita mau fokus sama yang ada depan mata
Kita menolak melihat hal yang jauh karena hal tersebut membuat kita tidak nyaman
Gue mencoba menerapkan ini dengan ga lagi membuat podcast
Merekam podcast sederhana bukan hal yang sulit
Yang sulit adalah membuat podcast tersebut bisa dinikmati banyak orang
Tidak seperti konten pendek, podcast sulit untuk ditemukan oleh pengguna baru
Makanya gue memutuskan untuk berhenti sebelum gue memulai
Tentukan Kill Criteria dari Project
Kill Criteria adalah kriteria yang kita tentukan untuk “membunuh” suatu project
Ada baiknya kita lakukan ini sebelum projectnya dimulai
Ketika kita sudah di tengah project, endowment dan sunk cost fallacy kita kuat banget
Sehingga akan jauh lebih susah untuk kita bisa menilai situasi dengan lebih objective
Di bulan Februari, gue memutuskan untuk mendeprioritisasi akun instagram career buddy
Keputusan ini gue ambil setelah gue menentukan target di bulan Desember
Saat itu gue set target untuk bisa hit 20 ribu follower di bulan Maret
Kita eksperimen dengan berbagai format dan collab tapi hasilnya belum sesuai
Ketika keputusan dibuat, gue merasa lega
Saat ini gue jadi bisa fokus buat negmbangin akun instagram vicarioreinaldo
So far kita dapat momentum positif yang sesuai dengan target yang diset
Punya Tujuan Yang Flexible
Seringkali kita memiliki tujuan yang fixed
Padahal situasi di sekitar kita berubah
Sehingga ada baiknya kita mempertanyakan relevansi dari tujuan yang kita set
Misalnya kita diminta untuk mendeliver sebuah campaign pada tanggal 30 Juni 2024 dengan requirement a,b,c,d,e
Di tengah jalan ada beberapa perubahan requirement, ada campaign dari kompetitor, dan juga ada penyesuaian budget
Dalam situasi ini, ada baiknya campaign tersebut dievaluasi seperti
seberapa drastis dampak perubahannya?
requirement apa yang dibutuhkan?
seberapa adjustable deadlinenya?
Sangat bisa jadi setelah diteliti ulang, udah ga make sense lagi untuk ngelakuin campaignnya
Bisa jadi juga ganti konsep secara drastis sehingga udah kayak campaign baru
Berhenti untuk melanjutkan hal yang ga lagi berkontribusi terhadap tujuan kita
Tujuan yang ga fleksibel kurang cocok untuk dunia yang fleksibel
Closing Thought
Kita hidup di dunia yang dinamis
Situasi kita berubah
Orang di sekitar kita berubah
Bahkan kita pun berubah
Oleh karena itu semoga episode ini ngasi lo tool untuk bisa lebih flexible dalam menentukan definisi sukses buat lo
Sukses bukan sekedar mendapatkan semua hal yang kita mau
Sukses bisa dilihat apakah dalam jangka panjang kita bisa lebih dekat dengan tujuan kita
Kalaupun engga, pelajaran apa yang bisa kita ambil dari situasi tersebut
Semoga lo jadi mindful quitter ya buddy 🙂
Content of The Week
Perusahaan besar dan bonafide memang terlihat keren. Sayangnya banyak orang kecelesetelah kerja di perusahaan besar karena ga sesuai sama ekspektasi mereka. Di sini gue bahas enak dan gak enaknya kerja di perusahaan kecil, sedang dan besar. Cek lo cocok di mana.
Kita ga selalu membuat keputusan bagus untuk jangka panjang, sering bersikap irasional
Kenapa? Karena cuma ngandelin firasat, terpengaruh bias dan emosional, dan tergoda instant gratification. Gue bahas cara mengatasinya di sini.
Banyak orang pengen digaji tinggi, tetapi ga siap risikonya. Kita mungkin akan diminta ngerjain hal yang ga kita suka, overload, dan mimpin tim gede padahal lebih suka ngulik. Terus, apakah mendingan punya gaji kecil.
Susah ngumpulin dana darurat? Ga pernah bisa nabung, karena gaji selalu abis. Atau baru 50% terkumpul, ada aja pengeluarannya. Kali ini gue mau bahas dana darurat, berapa yang perlu disiapkan dan sebaiknya simpan di mana
Thanks fo
Comments